Senin, 25 Mei 2009

Filsafat Barat Agustinus

Bukan kesatuan negara. Helenisme mengakibatkan lunturnya adat istiadat dan agama lokal yang sudah mapan. Dalam masa itu bermunculanlah aliran-aliran yang mengacu pada pandangan hidup, keagamaan, filsafat, "kebatinan" khususnya di kalangan para cendikiawan dan petugas tinggi pemerintahan dan tentara. Pada saat itu ada dua aliran yang berpengaruh luas dan lama yaitu Stoa dan Epikurisme. Para penganut aliran tersebut merasa telah mendapatkan dasar pandangan hidup untuk bisa bertahan dalam gejolak-gejolak politik yang baru. Dewa-dewi kuno diganti dengan keyakinan pada penyelenggaraan akal ("logos") yang "ilahi", di luar dan di atas semua peristiwa dan semua manusia. Penyelenggaraan itu malah sudah terpantul dan dapat ditemukan pada setiap manusia secara mikrokosmis. Untuk itu, manusia harus mencapai ketenangan batin dengan melaksanakan askesis.
Sekitar abad pertama Sebelum Masehi, terjadi pergeseran titik besar peta kekuasaan politik dari Timur ke Barat dengan pusat di Roma. Kerajaan Roma mencapai jaman keemasannya sekitar abad pertama Masehi sampai pertengahan abad ketiga (1000 tahun kota Roma). Bahasa Latin cukup mendukung juga karena cocok sebagai bahasa hukum yang seragam, bahasa pemerintahan yang tegas, dan bahasa tentara yang patuh. "The Roman Genius" berhasil menciptakan suatu kesatuan politik yang menjamin keamanan dan kemakmuran selama beberapa abad untuk wilayah yang luas (sekitar 2000 kali 5000 km^2). Aliran-aliran kebudayaan, filsafat dan pandangan hidup yang sudah lama berkembang dalam Heleneisme tetap bertahan. Di samping itu pemerintah Roma memberikan kebebasan besar kepada semua aliran, asal tidak membahayakan keamanan dan kesatuan negara. Saat itu juga ada pejabat tinggi negara yang sekaligus filsuf terkenal, yaitu kaisar Markus Aurelius (121-180) penganut Stoa dan pengarang dalam bahasa Yunani. Muncul juga aliran filsafat kuno yang terakhir, yaitu Neo-Platonisme dengan pendirinya Plotinos (205-270). Aliran ini berasal dari Mesir dengan dipengaruhi alam pikiran Timur (India) dan cepat berpengaruh di Roma. Plotinos ingin memperbarui filsafat Plato yang dianggapnya cocok bagi kebutuhan religius pada jamannya, sekaligus belajar dari aliran Stoa. Dibandingkan dengan filsafat Plato (dan Aristoteles), Neo-Platonisme lebih dinamis.
Secara singkat bisa dikatakan, aliran Neo-Platonisme berpandangan bahwa semua yang ada dan yang dapat disaksikan, termasuk manusia sendiri, berasal dari "Yang Esa", dan terus menerus mengalir ("emanasi") dari Yang Esa itu tanpa ada batas yang jelas antara keduanya (selain emanasi dipakai juga istilah "perilampsis", "penyinaran". Oleh karena itu selain lambang air dipakai juga lambang sinar cahaya dan terang). Apa saja yang berasal dari Yang Esa itu tidak bisa lain kecuali mau kembali kepada-Nya. Semuanya merupakan suatu lingkaran besar yang bersifat ilahi. Manusia tergoda untuk "berhenti" di tengah jalan, melekat pada materi (ingat "hyle"-nya Aristoteles) yang paling jauh dari Yang Esa, seakan-akan seperti "titik balik" dari gerak "keluar kembali". Kemacetan itu bisa dihindari dengan askesis sehingga di tengah jalan manusia dapat memperoleh ekstasis berhadapan dengan Yang Esa yang mungkin hanya sekejap saja.
Pada pertengahan abad pertama muncul juga Gereja Kristiani. Penyebaran ajaran iman Kristiani dan kesatuan umatnya cukup didukung dengan adanya kebudayaan Helenisme dan kesatuan serta semua fasilitasi (misalnya perjalanan) dalam Kerajaan Roma. Meskipun demikian, terjadi pertentangan juga karena orang Kristiani tidak ikut dalam pendewaan kaisar yang dituntut bagi semua warga demi kesatuan dan kemuliaan Kerajaan Roma. Ini mengakibatkan pengejaran dan penganiayaan atas orang Kristiani. Meskipun demikian, selama beberap periode, Gereja cukup berkembang di seluruh wilayah Roma (dan di sebelah Timur: Persia, India). Setelah penganiayaan hebat pada permulaan abad IV, akhirnya pada tahun 313 Kaisar Konstantinus mengeluarkan maklumat di kota Milano yang memberi kebebasan beragama kepada semua penduduk Kerajaan Roma. Sebelum meninggal, ia sendiri dibaptis menjadi Kristiani. sesudah itu, kedudukan dan peranan Gereja Kristiani menjadi sangat mencolok, bukan hanya dalam penghaytan iman dan ibadat, tetapi juga dalam refleksi atas iman baik dalam tukar pikiran dengan orang-orang bukan Kristiani (cendikiawan, filsuf dan sebagainya) maupun usaha orang Kristiani sendiri untuk memperdalam unsur pengetahuan atas iman.
Refleksi itu sebenarnya sudah dirintis dalam lingkungan Yahudi di wilayah yang dipengaruhi Helenisme. Misalnya tokoh Filo dari Aleksandria di Mesir (20 S.M.-50 M.) yang berkeyakinan bahwa ada kesinambungan antara iman dengan akal karena kedua-duanya berasal dari Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, yang dikenal baik melalui iman maupun akal. Pemikiran seperti itu juga masih muncul dalam umat Kristiani purba antara lain dari Yustinus (100-165) dan dari sekelompok pengajar Kristiani di Mesir seperti Clemnes (150-212) dan Origenes (185-254), yang sebangsa dengan Plotinos. Pada saat yang sama, muncul juga pemikiran yang menantang dengan keras, khususnya Tertulianus (160-223), dan juga dari Afrika utara (Kartago, wilayah Tunisia sekarang) yang sangat menekankan perbedaan dasar antara iman Kristiani dengan akal, baik karena Allah itu tak terjangkau oleh akal yang lemah, maupun karena manusia berdosa secara menyeluruh sehingga hasil akal budinya tidak bisa diandalkan: "credo quia absurdum" (aku percaya justru karena tidak masuk akal).
Setelah tahun 313, dalam lingkungan Gereja Kristiani muncul puluhan pemikir besar yang berusaha menyoroti pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari sudut pengertian dan akal budi. Mereka sering dinamai "pujangga Gereja" dan dianggap sebagai teolog, dengan akibat filsafat yang termuat dalam ajaran mereka kurang diangkat meskipun tetap sejalur dengan lanjutan Neo-Platonisme. Salah satu dari antara mereka adalah Augustinus.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham manusia dengan beranggapan bahwa kaum "jasmani" atau para "pendengar" tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang "terpilih" dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup "jasamani" ini mereka memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan, ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun penilaian norma-norma etika.
Usahanya mendirikan perguruan di Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius (233-304) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan Augustinus, ajaran ini belum memepunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam baginya.
Pada saat tersebut, melalui beberapa temannya (di samping ibu Monika yang dengan setia mengikuti putranya), ia diharapkan kembali pada iman Kristiani. Di samping itu ia juga berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Origenes. Menurut pengakuannya sendiri, ia semakin sanggup melihat bahwa keyakinan intelektual yang telah diperoleh melalui Neo-Platonisme seakan- akan menuntut suatu kelanjutan dalam praktik hidup yang kiranya tidak berasal dari filsafat tersebut.
Ia dibaptis menjadi seorang Kristiani oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387. Dari masa dua tahun di sekitar peristiwa tersebut, kita mempunyai banyak karya filsafat dari Augustinus; meskipun jarang hanya filsafat semata-mata, karena karyanya waktu itu cukup dilatarbelakangi dan diwarnai oleh pengalaman pertobatannya. Salah satu rumus refleksi Augustinus mengenai perjalanannya menuju iman Kristiani termuat dalam karyanya yang termasyur, "Confessiones" ("Pengakuan" sekaligus "Puji-pujian kepada Allah"). Augustinus menggoreskan kekagumannya ketika membaca karya Plotinos, sekaligus menggoreskan perasaannya bahwa seakan-akan "belum sampai" kepada "sesuatu", yang baru sanggup dirumuskannya sesudah ia mulai beriman. Ialah bahwa "Nomen Christi non erat ibi" (nama Kristus belum terdapat dalam tulisan Neo- Platonisme itu). Demikian ringkasan atau kunci pemikiran dan filsafat Augustinus yang tetap bertahan untuk seterusnya dan yang termuat dalam karya besar dan khotbah-khotbahnya (ia menjadi imam tahun 391, lalu menjadi Uskup kota Hippo di Afrika Utara tahun 396 sampai akhir hidupnya). Perpisahan Augustinus dengan filsafat gaya Neo-Platonisme murni, terdapat dalam Confessiones (9, 100) mengenai hari terakhir sebelum Monika meninggal. Di situ terdapat percakapan mereka mengenai pengalaman hidup di bumi ini dan mengenai kebahagiaan di surga yang dijanjikan Tuhan. Peristilahan dalam percakapan itu secara mendalam bernada Neo-Platonisme sekaligus seluruhnya bernafaskan iman Krsitiani. Berikut ini disampaikan anggapan pandangan Augustinus mengenai sejumlah bidang dan cabang filsafat.
Epistemologi Augustinus bersifat iluminisme. Augustinus berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumen") khusus dari Allah. Dari sudut yang lain, ia juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara alamiah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. "Apabila tidak ada kebenaran, kiranya benar juga bahwa tidak ada kebenaran. Dengan itu adanya kebenaran sudah ditegaskan". Hal yang mirip dengan itu diuraikan Augustinus juga dalam wawancara "De Magistro" (Guru). Dikemukakannya bahwa proses belajar-mengajar itu dimungkinkan hanya karena ternyata dalam diri murid terdapat suatu "dasar pengetahuan" atau "pengertian" yang tinggal dihidupkan oleh perkataan dan penjelasan guru. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk (merujuk pemikiran Sokrates). Itu semua terjadi dalam rangka pengetahuan iman.
Unsur-unsur filsafat manusia muncul dalam karya Augustinus saat ia memandang manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan ("creatio"), tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta ("Creator"), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan "vestigia Dei" ("jejak-jejak Allah") yang memaklumkan bahwa "Allah telah lewat". Manusia menjadi "vestigium Dei" sedemikian istimewa, sehingga disebut "imago Dei" ("citra Allah"). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.
Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens - notitita - amor, sekali-kali juga memoria - intellectus - voluntas. Yang pertama, ("mens", "memoria") bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, ("notitia", "intellectus") berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, ("amor", "voluntas") menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Usaha yang mirip dengan itu diucapkannya dengan perkataan lain yang bergema sampai dewasa ini yaitu, "Tuhanku, Engkaulah lebih tinggi daripada apa yang paling dalam dalam batinku" ("Deus meus superior summo meo; et interior intimo meo") ("Confessiones", 3, 6, 11) . Ini merupakan ungkapan yang merangkum pengalaman manusia tentang transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumus. Inilah beberapa pokok filsafat ketuhanan Augustinus.
Dalam bidang etika, perlu diingat bahwa Augustinus bertahun-tahun lamanya mengalami ketidakmampuan untuk menyelenggarakan hidupnya dengan baik dengan latar belakang dualisme manikeisme. Sesudah menjadi Kristen dan Uskup, Augustinus menabrak keras anggapan Pelagius (350-425) dan pelagianisme yang beranggapan bahwa manusia sendiri karena ketegasan dan kerajinannya dapat berbuat baik dan menyelamatkan diri. Manusia tetap membutuhkan rahmat dari Allah. Dengan demikian ada kesejajaran iluminismenya tentang pengetahuan dengan ketidakmampuan manusia, dalam bidang etika, tanpa rahmat Allah.
Filsafat negara Augustinus menjadi terkenal juga. Baginya, filsafat negara tidak bisa lepas dari etika. Filsafat negaranya termuat dalam "Civitas Dei" ("Negara Allah") yang lebih merupakan teologi sejarah dengan beberapa pokok mengenai filsafat sejarah. Karya ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah selama 20 tahun terakhir kehidupan Augustinus. Kegemilangan dan kekuatan politik Kerajaan Roma sudah mulai merosot karena kemewahan dan kelaliman para pemimpin dan karena penyerbuan bangsa-bangsa sebelah Timur, Timur Laut dan Utara.
Situasi tersebut ditanggapi Augustinus dalam konteks akhirat. Negara dan masyarakat yang kita alami merupakan pertempuran terus-menerus antara kekuatan buruk yang duniawi ("civitas terrena") dengan kekuatan baik dari Allah ("civitas Dei"). Akhirnya yang akan menang adalah kekuatan baik dari Allah. Perlu dihindari pengertian bahwa civitas terrena itu negara dan civitas Dei itu Gereja, karena keduanya mempunyai kedua unsur, baik dari civitas terrena maupun civitas Dei. Civitas Dei pun akan menang dalam diri manusia karena kekuatan Allah dan bukan semata-mata kekuatan manusia.
Akhirnya, Augustinus dan karyanya, yang menjadi milik kebudayaan Barat dan yang dipengaruhi oleh iman Kristiani, kiranya lebih mendalam daripada Plato dan Aristoteles dalam batas-batas tertentu. Karya-karyanya mempengaruhi sejumlah besar filsuf dan teolog. Misalnya, Anselmus (abad XI), seluruh kelompok filsuf dan teolog sekolah Saint Victor di Paris (abad XII), Bonaventura, maupun Thomas Aquinas (abad XIII), Martin Luther, Malebranche, Pascal, Jansenisme, ?Maurice Blondel (abad XX). Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan "filsafat Kristiani".
Dalam arus filsafat jamannya, Augustinus menawarkan pemikiran baru yang tidak ditemukan pada filsuf-filsuf sebelumnya. Ia melihat bahwa filsafat selama itu lebih menempatkan yang ilahi dalam tanda kurung sehingga menempatkan filsafat sebagai "profan". Agustinus memang mengagumi pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi seabagai orang Kristiani ia melihata ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa Kristus tidak ditemukan di sana.
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam pada diri manusia.