Rabu, 03 Maret 2010

MUHAMMAD ABDUH, TOKOH PEMBAHARU ILMU TAFSIR

Pada tahun 1849 Masehi, beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Mahallat Nasr yang berada di kawasan al-Buhairah, Mesir. Setelah mulai menginjak usia remaja, Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo, untuk belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh Mujahid yang terkenal dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat ia belajar di sana, ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak bisa ia pahami. Maka setelah 2 tahun, Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya. Namun karena itu, ia justru dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia 16 tahun.

Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah. Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa kitab hadits lainnya.[1]

Berawal dari pertemuan dengan pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Usai dari sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran yang diterapkan. “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan”.
Ketika kita hendak menelisik tentang apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir, maka kita akan menemukan karyanya, sebuah tafsir terkenal dalam “Juz Amma” (juz 30 dari urutan mushaf). Tafsir yang disusun oleh Abduh atas musyawarah dari anggota “Jam’iyyah Khairiyyah al-Islamiyyah” itu diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para pengajar Jam’iyyah, dalam memberikan pemahaman terhadap para murid tentang arti dan kandungan makna dari surat-surat yang telah mereka hafal dalam juz 30. Disamping itu Abduh juga berharap agar karyanya ini bisa menjadi corong perbaikan kerja dan akhlaq mereka. Tafsir “Juz Amma” ini selesai dikerjakannya tahun 1321 H di negeri Maghrib.

Selain itu kita juga dapat menemukan tafsir detailnya tentang surat “al-Ashr”, yang pernah beliau sampaikan dalam berbagai macam muhadharah dan sebagai bahan pelajaran untuk para ulama’ di kota al-Jazair pada tahun 1321 H/1902 M. Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa; “dia membacakan tafsir dari satu surat al-Ashr ini dalam waktu 7 hari, dan setiap kali pertemuan tidak kurang dari 2 jam atau 1 jam setengah”.[4]

Pada sisi yang lain kita dapat menemukan berbagai macam karya Abduh dalam bentuk studi tafsirnya, yang di dalamnya ia mencoba mengobati dan memberikan solusi atas berbagai macam isykaliyyat Qur’an, dan juga memberikan pembelaan atas skeptisisme terhadap isykaliyyat tersebut. Hal ini dapat kita tengok dalam penjelasannya tentang tafsir surat an-Nisa’ ayat 78-79 . Beliau telah menggabungkan kedua ayat tersebut dan menyepakatkannya atas beberapa qaul yang menyatakan bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan. Yaitu menisbatkan perbuatan manusia kepada Allah pada satu waktu, dan perbuatan manusia kepada sesama hamba pada waktu yang lain.[5]

Secara tertulis dan khusus kita memang tidak mendapati Muhammad Abduh menyusun sebuah kitab tafsir 30 juz lengkap, sebagaimana para mufassir lainnya. Namun jejak pemikiran dan konsep beliau dalam bidang tafsir dapat terlihat dari setiap pelajaran yang beliau sampaikan dalam perkuliahan al-Azhar kepada para muridnya. Walaupun Abduh menyampaikan pelajaran tafsir dengan tanpa tercetak atau tertulis sedikitpun, namun kita tidak kesulitan mendapatkan jejak peninggalan beliau dalam bidang tafsir. Hal itu disebabkan karena salah satu murid beliau, Muhammad Rasyid Ridha, selalu mencatat poin-poin penting yang beliau sampaikan di sela-sela muhadharahnya. Pada tahap selanjutnya, apa yang sudah dihafal oleh Rasyid Ridha dan ia tulis lalu ia koreksikan ulang kepada Abduh untuk diteliti, sebelum akhirnya diterbitkan dalam majalah al-Manâr.[6]

Demikianlah beberapa poin pokok dari apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir. Walaupun karya (tafsir yang tertulis) ini terhitung sedikit bagi sosok Abduh yang kaya ilmu dan pengetahuan, namun secara riil dapat dikatakan bahwa Abduh cukup memberikan pengaruh perubahan yang besar terhadap perkembangan tafsir.

Ada beberapa poin penting yang bisa kita petik dari Syeikh Muhammad Abduh. Yang pertama, yaitu semangat beliau dalam menyebarkan dan menyegarkan ajaran islam. Dengan memberikan tasyji’ kepada umat islam untuk terus belajar dan menggali ilmu, sehingga dari situ kita tidak hanya menjadi muqallid yang kaku, namun menjadi muslim yang kaffah. Kedua, dalam sebuah ungkapannya beliau berkata : bahwa ”al-Qur’an adalah sebagai timbangan dimana nilai-nilai akidah akan diketahui dari situ. Dan beliau menyatakan bahwa, wajib bagi setiap orang yang menelaah al-Qur’an agar menjadikannya sebagai sumber atau asal-muasal dimana akidahnya itu diambil, lalu ia mengambil sebuah istinbath/keputusan dari situ”.

Pesan tersirat dari ungkapan di atas adalah, bahwa keberadaan al-Qur’an adalah sumber dari segalanya. Maka setiap akidah, syari’at, hukum dan lain sebagainya berasal dari al-Qur’an. Dan bukanlah sebaliknya, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dan pembenar atas klaim madzhab masing-masing ataupun aliran masing-masing.

Ketiga, untuk menjadi seseorang yang “luar biasa”, terkadang kita memang harus siap menerima penentangan atau bahkan terasingkan tanpa terbuang atas sikap yang kita ambil. Hingga pada akhirnya kita dapat benar-benar membuktikan bahwa sikap kita itu tidak salah, bahkan mendekati ‘kebenaran’. Maka, to be different is not crime! Wallahu a’lam.[]